Kamis, 05 Mei 2011

Gubernur Genjot Produktivitas Kakao

Tambah 16 Kabupaten Sebagai Daerah Penghasil Utama

Jajaran PT Nestle Indonesia bertemu dengan Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo, di Kantor Gubernur Sulsel, Kamis (5/5). Kedatangan petinggi produsen cokelat kelas dunia yang berpusat di Swiss tersebut untuk melaporkan rencana workshop pengembangan kakao berskala internasional di Makassar 1 Juni nanti.
Selain itu, pertemuan itu sebagai penjajakan awal kerja sama pengembangan kakao Sulsel hingga perintisan pembangunan industri kakao di daerah ini.
"Rencananya, kami akan menggelar workshop pengembangan kakao berskala internasional di Makassar pada 1 Juni nanti," ujar Deborah Tjandrakusuma dari PT Nestle Indonesia.
Ia mengungkapkan, Sulsel sebagai salah satu penghasil kakao sangat potensial. Apalagi, selama ini, bahan baku beberapa produk Nestle
sebagian besar dari Sulsel.
"Pertemuan ini sebagai penjajakan awal kerja sama pengembangan kakao Sulsel hingga perintisan pembangunan industri kakao di daerah ini," ungkapnya.
Menanggapi hal itu, Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo, menjelaskan, pihaknya akan menambah atau memperluas area produksi kakao di Sulsel. Caranya, dengan menjadikan 16 kabupaten sebagai daerah penghasil kakao. Khususnya, di lahan-lahan kritis yang memang cocok untuk ditanami kakao.
"Produksi kita cukup besar dan akan terus ditambah lagi produksinya. Sekarang, kami punya 17 juta ton," ungkap Syahrul.

Ia berharap, PT Nestle Indonesia, mau membangun industri di Sulsel. Apalagi, sebagian besar bahan bakunya merupakan kakao dari Sulsel. Karenanya, ia terus berusaha meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi kakao di Sulsel melalui program piramida kakao.
"Kakao kita menuju sertifikasi sehingga kualitasnya tidak diragukan lagi," jelasnya.
Rencananya, menindaklanjuti penjajakan PT Nestle Indonesia di Sulsel, Pemprov Sulsel dan PT Nestle akan menandatangani
Memorandum of Understanding (MoU) di Belanda, pada Juni mendatang. Khususnya, pembangunan industri pengolahan kakao di Sulsel.
"Kita harapkan, salah satu butir MoU adalah pembangunan industri di Sulsel," harapnya.
Sementara, GM PT PLN Sultanbatara, Ahmad Siang, yang juga datang menemui gubernur, menyatakan, kesiapannya menyiapkan energi bagi industri yang akan masuk di Sulsel.
"Kalau PLN ditanya, jawabannya adalah siap. Katakan saja berapa jumlah yang dibutuhkan, kapan dibutuhkan dan di daerah mana akan dibuat industrinya. PLN akan menyiapkan energinya," jelasnya.
Ia mengungkapkan, energi dari Takalar dan Barru akan masuk sebanyak 200 MW sehingga jumlah cadangan yang tersedia sebesar 900 MW. Selain itu, ada cadangan energi siang sebesar 300 MW sehingga industri yang akan masuk di Sulsel tidak perlu merasa was-was.
"Sekarang saja tidak ada lagi daftar tunggu. Ini menunjukkan kalau energi kita memang sudah siap untuk menerima industri yang akan
masuk di Sulsel," imbuhnya.

(upeks, 06-05-2011)


Potensi Sul-sel, yang sangat besar dalam pengembangan KaKao karena ditunjang dengan kondisi alam, menjadi ketertarikan tersendiri bagi NesTLe indonesia. Untuk itu, pihak NesTLe melakukan pertemuan dengan Gubernur Sul-sel, di ruang kerja Gubernur.

Selain akan melakukan workshop tentang KaKao, pada bulan juni nanti, NesTLe juga akan melakukan kerjasama pengembangan serta pengolahan KaKao, untuk dijadikan bahan baku pembuatan makanan maupun minuman.

Sementara itu Gubernur Sul-sel Syahrul yasin limpo, menyatakan hingga saat ini jumlah lahan KaKao yang tersebar di Sul-sel sekitar 17 ribu hektar, dan ditargetkan akan menambah lahan enam belas hektar.

Sehingga Sul-sel bisa menjadi pusat pengembangan KaKao terbesar yang ada di indonesia, mengalahkan propinsi lainnya. Syarf-mail.

(MakassarTV, 05-05-2011)

Rabu, 04 Mei 2011

Program Gernas Disuntik Dana Rp96,38 M


Direktorat jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian mengelontorkan anggaran Rp96 miliar ke Sulsel. Dana tersebut dialokasikan untuk menunjang tiga item program Gerakan Nasional (Gernas) kakao.
Bantuan tersebut rencananya disebar pada 12 kabupaten yang menjadi prioritas program peningkatklan kualitas dan mutu kakao. Dana yang dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), nantinya akan meliputi ruang lingkup rehabilitasi sebesar Rp64 miliar, peremajaan Rp11 miliar dan program intensifikasi Rp21 milliar.
Kepala Bidang Pengembangan dan Pembinaan Usaha Dinas Perkebunan Sulsel H Muhammad Anas, mengungkapkan, program gernas yang berjalan sejak tiga tahun yang lalu, produksi sudah mencapai 345 ribu ton.
"Kami memproyeksikan produksi kakao tahun 2013 mencapai sekitar 300 ribu ton, dilihat dari luas areal saat ini, yang telah terjamak oleh Gernas seluas 89,669 ribu hektar, kalaupun luas areal tanam kakao di sulsel mencapai sekitar 260 ribu hektar," ungkapnya, beberapa waktu lalu.
Dinas Perkebunan tetap optimis, untuk dapat menyentuh seluruh areal tanam kakao yang akan dijadikan sebagai areal sentar program Gernas Kakao."Kami juga akan melakukan beberapa sistem yang akan menunjang mutu dan kualitas kakao Sulsel. Tentunya dengan melakukan penggantian tanaman kakao yang rusak dengan tanaman unggulan melalui rehabilitasi sambung samping," jelasnya.
Anas menambahkan, program Gernas saat ini telah menjadi salah satu program nasional dan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil kakao terbaik di dunia. Dimana konstribusi Sulsel mencapai 60% produksi kakao secara nasional. "Salah satu daerah yang dilirik oleh beberapa investor dari negara eropa untuk mengembangkan produksi kakao,"jelasnya seraya menyebutkan program ini telah dijalankan di 25 provinsi di Indonesia. "Melihat dari hasil evaluasi program gernas saat ini yang dirasakan hasilnya oleh masyarakat, maka pemerintah pusat memandang perlunya kelanjutan program Gernas Kakao dan akan menyentuh beberapa daerah yang saat ini belum disentuh dengan program ini,"

(www.ujungpandangekspres.com, 05-05-2011)

Sutera Wajo Sulit Ditandingi


uroda, Marketing Expert Project Kerjasama JICA dengan Pemprov Sulawesi Selatan (Sulsel) bidang Pengembangan Industri Lokal di Sulsel menilai kain sutera (hand made) yang berasal dari Sulawesi Selatan merupakan produk unggulan yang sulit ditandingi.

Hal itu dikatakan Kuroda kepada Staf Ahli bidang Pemasaran dan P3DN, Menteri Perindustrian, Fauzi Azis saat bertemu di salah satu show room kain sutera di Wajo, Sulsel pekan silam. “Sutera Indonesia memang unggul bahkan lebih unggul karena banyak pilihan,” tegas Kuroda.

Hanya saja lanjutnya, mutu dan desain kain sutera hand made Sulawesi Selatan masih sangat membutuhkan campur tangan para ahli dan pemerintah tentunya. Campur tangan ini kata Kuroda teramat penting untuk menghadapi persaingan yang amat ketat.

Cina menurut Kuroda, tenun kain sutera mereka amat pesat kemajuannya disebabkan banyak “tangan” yang peduli untuk memajukannya. Demikian juga Thailand. Kepompong yang diternakkan di dua negeri itu amat bermutu karena memang disiapkan secara serius. “Rasanya sih Indonesia harus menyadari pentingnya ulat sutera yang bermutu tinggi. Di Cina itu kepompongnya berwarna kuning keemasan,” lanjutnya.

Fauzi Azis yang mendengar keterangan Kuroda mengakui bahwa memang bibit ulat sutera (kokon) di Indonesai khususnya di Wajo sangat kurang sehingga para pengrajin atau pemintal benang sutera kesulitan menghasilkan benang yang bermutu.

“Pohon murbai kita memang sangat banyak dan ditanami di hutan yang luas, tapi untuk apa itu daun murbai kalau ulat yang akan memakannya tidak disediakan juga. Seharusnya, penyediaan pohon murbai harus sebanding dengan penyediaan ulat sutera,” kata Fauzi.

Informasi yang diperoleh dari para penenun mengatakan dari 25.000 butir telur ulat sutera dan setelah menetas, kurang lebih satu bulan kemudian sudah bisa panen kepompong untuk seterusnya dipintal menjadi benang. Hasilnya bisa mencapai 5 kilogram benang sutera. Dan satu kilogram benang sutera bisa ditenun menjadi 3 lembar kain sarung.

(www.tubasmedia.com)

Indonesia Masih Sangat Menarik untuk Investasi


Pemerintah ingin melakukan finalisasi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dalam waktu dekat. Bank-bank seperti JP Morgan diharapkan dapat memberikan atensi. Demikian dikatakan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan ketika ditemui wartawan, usai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima CEO JP Morgan Jaime Dimon di Kantor Presiden, Selasa (3/5) sore.

Untuk mewujudkan MP3EI dibutuhkan dana tidak kecil. Dari Indonesia sendiri, BUMN sudah memberikan komitmen pembiayaan sebesar 100 miliar dolar AS atau sekitar Rp 835 triliun. "Belum yang non BUMN dan investor luar negeri. Ini semuanya perlu pinjaman, dan itu saya rasa perannya JP Morgan di situ," Gita menjelaskan. Belum ada komitmen khusus antara JP Morgan dan pemerintah Indonesia.

Selain JP Morgan, bank-bank lain, baik dalam ataupun luar negeri, akan diimbau untuk berpartisipasi dalam pembiayaan. Menurut Gita, biaya yang diperlukan untuk implementasi MP3EI sekitar 300 miliar dolar AS. Selain komitmen 100 miliar dolar AS dari BUMN, diharapkan perusahaan domestik menyumbang 100 miliar AS, dan sisanya investor asing.

"Itu kan bungkusnya ekuitas dan utang. Jadi, utangnya itu mau nggak mau harus datang dari lembaga keuangan, dalam dan luar negeri,” Gita menambahkan. Untuk target investasi, lanjut Gita, tidak ada perubahan. Pemerintah masih menargetkan peningkatan 15 persen tahun ini.

Selain membicarakn tentang MP3EI, pertemuan Presiden SBY dan pimpinan JP Morgan juga membahas bantuan kepada Indonesia melalui Menteri Keuangan Agus Martowardojo untuk penyelesaian Global Bound, sebesar 500 juta dolar AS. "Ini saya rasa menunjukkan titik terang karena pricing yang terjadi untuk Global Bound kemarin itu mencerminkan Indonesia sudah bisa menjadi investment grade," ujar Gita.

Pemerintah mengharapkan melalui Jaime Dimon dapat disuarakan ke lembaga-lembaga internasional bahwa Indonesia sudah berhak menjadi negara yang statusnya investment grade. "Kita kan sudah Double B Plus, mudah-mudahan dalam waktu dekat kita bisa menjadi Triple B Minus," kata Kepala BKPM.

JP Morgan, ujar Gita, sangat mengapresiasi prospek ekonomi Indonesia yang secara fiskal sudah menata secara prudence dengan disiplin dan rasio GDP yang sangat rendah, yakni 26 persen. Stabilitas nasional juga sudah bisa dibina tanpa peningkatan suku bunga sesering yang dilakukan pemerintah Tiongkok dan India. "Itu hal-hal yang sangat diapresiasi mereka. Beliau (Jamie Dimon) berpendapat Indonesia masih sangat menarik untuk menjadi iklim investasi," kata Gita.

Sementara itu, perihal pelaksanaan Overseas Private Investment Coorporation (OPIC) yang akan diadakan besok, Gita menjelaskan bahwa program tersebut merupakan inisiatif pemerintah AS supaya Indonesia dapat menjadi tuan rumah. Acara ini akan dihadiri oleh sekitar 250 orang. "Ini perusahaan dari Amerika dalam bidang infrastruktur, pembaharuan energi, dan juga semua medium enterprises. Mudah-mudahan ada teknologi juga, supaya kita bisa melakukan joint investment dan joint production dengan perusahaan-perusahaan dari AS," tandasnya

(www.presidenri.go.id, 03 mei 2011)

Minggu, 01 Mei 2011

Tanjung Bira

Tanjung bira terkenal dengan pantai pasir putihnya yang cantik dan menyenangkan. Airnya jernih, baik untuk tempat berenang dan berjemur. Disini kita dapat menikmati matahari terbit dan terbenam dengan cahayanya yang berkilau nenbersit pada hamparan pasir putih sepanjang puluhan kilometer.

Pantai bira yang sudah terkenal hingga mancanegara, kini sudah ditata secara apik menjadi kawasan wisata yang patutu di andalkan. Berbagai sarana sudah tersedia, seperti perhotelan, restoran, serta sarana telekomunikasi, pantai bira berlokasi sekitar 41 km kearah timur dari kota bulukumba. dengan pelabuhan penyeberangan fery yang menghubungkan daratan Sulawesi Selatan dengan pulau selayar.

Tanjung Bira merupakan pantai pasir putih yang cukup terkenal di Sulawesi Selatan. Pantai ini termasuk pantai yang bersih, tertata rapi, dan air lautnya jernih. Keindahan dan kenyamanan pantai ini terkenal hingga ke mancanegara. Turis-turis asing dari berbagai negara banyak yang berkunjung ke tempat ini untuk berlibur.

Pantai Tanjung Bira sangat indah dan memukau dengan pasir putihnya yang lembut seperti tepung terigu. Di lokasi, para pengunjung dapat berenang, berjemur, diving dan snorkling. Para pengunjung juga dapat menyaksikan matahari terbit dan terbenam di satu posisi yang sama, serta dapat menikmati keindahan dua pulau yang ada di depan pantai ini, yaitu Pulau Liukang dan Pulau Kambing.

Tanjung Bira terletak di daerah ujung paling selatan Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba.

Tanjung Bira terletak sekitar 40 km dari Kota Bulu Kumba, atau 200 km dari Kota Makassar. Perjalanan dari Kota Makassar ke Kota Bulukumba dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum berupa mobil Kijang, Panther atau Innova dengan tarif sebesar Rp. 35.000,-. Selanjutnya, dari Kota Bulukumba ke Tanjung Bira dapat ditempuh dengan menggunakan mobil pete-pete (mikrolet) dengan tarif berkisar antara Rp. 8.000,- sampai – Rp. 10.000,-. Total waktu perjalanan dari Kota Makassar ke Tanjung Bira sekitar 3 – 3,5 jam.

Jika pengunjung berangkat dari Bandara Hasanuddin, langsung menuju ke terminal Malengkeri (Kota Makassar) dengan menggunakan taksi yang tarifnya sekitar Rp. 40.000,-. Di terminal ini kemudian naik bus tujuan Bulukumba atau yang langsung ke Tanjung Bira.

Di kawasan wisata Tanjung Bira, angkutan umum beroperasi hanya sampai sore hari. Jika pengunjung harus kembali ke Kota Makassar pada sore itu juga, di sana tersedia mobil carteran (sewaan) dengan tarif Rp. 500.000,-. Biaya tiket masuk ke lokasi Pantai Tanjung Bira sebesar Rp. 5.000,-.

Kawasan wisata Pantai Tanjung Bira dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti restoran, penginapan, villa, bungalow, dan hotel dengan tarif mulai dari Rp. 100.000,- hingga Rp. 600.000,- per hari. Di tempat ini juga terdapat persewaan perlengkapan diving dan snorkling dengan tarif Rp. 30.000,-.

Bagi pengunjung yang selesai berenang di pantai, disediakan kamar mandi umum dan air tawar untuk membersihkan pasir dan air laut yang masih lengket di badan. Bagi pengunjung yang ingin berkeliling di sekitar pantai, tersedia persewaan motor dengan tarif Rp. 65.000,-. Di kawasan pantai juga terdapat pelabuhan kapal ferry yang siap mengantarkan pengunjung yang ingin berwisata selam ke Pulau Selayar.

Sutera Wajo


Sengkang yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Wajo letaknya kurang lebih 250 km dari Makassar Ibukota Provinsi SUlawesi Selatan sejak dulu dikenal sebagai kota niaga karena masyarakatnya yang sangat piawai dalam berdagang. Berbagai macam kebutuhan hidup seperti pakaian, sepatu, tas, barang elektronik, kain dan kain sarung bahkan kebutuhan pokok lainnya konon memiliki harga yang relatif murah jika dibandingkan di daerah lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika Sengkang menjadi salah satu kota dengan perputaran ekonomi yang sangat tinggi di Sulawesi Selatan.

Disamping dikenal sebagai kota niaga, Sarung Sutera menjadikan ibukota Kabupaten Wajo semakin akrab ditelinga dan hati orang-orang yang pernah berkunjung ke kota ini, kelembutan dan kehalusan tenunan sarung sutera Sengkang sudah sedemikian dikenal bahkan hingga kemancanegara.

Menengok ke masa yang lalu, aktivitas masyarakat Wajo dalam mengelola persuteraan sudah dilakukan secara turun temurun baik diusahakan sebagai kegiatan sampingan maupun dikelola dalam skala industri rumah tangga bahkan sampai industri menegah.

Hampir disetiap kecamatan di daerah ini ditemukan kegiatan persuteraan dimulai dari kegiatan proses hulu sampai ke hilir, kegiatan pemeliharaan ulat sutera hingga proses pemintalah menjadi benang yang kemudian ditenun menjadi selembar kain sutera.

Dalam bahasa lokal (Bugis) sutera disebut dengan "Sabbe", dimana dalam proses pembuatan benang sutera menjadi kain sarung sutera masyarakat pada umumnya masih menggunakan peralatan tenun tradisional yaitu alat tenun gedogan dengan berbagai macam motif yang diproduksi seperti motif "Balo Tettong" (bergaris atau tegak), motif ("Makkalu" (melingkar), motif "mallobang" (berkotak kosong), motif "Balo Renni" (berkotak kecil). Selain itu ada juga diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan "Wennang Sau" (lusi) timbul serta motif "Bali Are" dengan sisipan benang tambahan yang mirip dengan kain Damas.

Melihat Potensi perkembangan sutera di Wajo, pada tahun 1965 seorang tokoh perempuan yang juga seorang bangsawan "Ranreng Tua" Wajo yaitu Datu Hj. Muddariyah Petta Balla'sari memprakarsai dan memperkenalkan alat tenun baru dari Thailand yang mampu memproduksi sutera asli (semacam Thai SIlk) dalam skala besar.

Beliau juga mendatangkan seorang ahli pertenunan dari Thailand untuk mengajarkan penggunaan alat tenun tersebut kepada masyarakat setempat sekaligus menularkan berbagai ilmu pertenunan sehingga mampu menghasilkan produksi sutera yang berkualitas tinggi. Berawal dari prakarsa inilah sehingga memacu ketekunan dan membuka wawasan kreativitas masyarakat dan pengrajin yang lain untuk mengembangkan kegiatan persuteraan di Kabupaten Wajo.

Pengembanagn Persuteraan Di Kabupaten Wajo

Kegiatan pengembangan persuteraan di Kabupaten Wajo dapat ditemui disemua Kecamatan yang ada namun khusus dalam pengembangan persuteraan alam dan produksi benang sutera terkonsentrasi di Kecamatan Sabbangparu dan daerah pengembangannya tersebar di Kecamatan Pammana, Kecamatan Tempe, Kecamatan Bola, Kecamatan Gilireng, dan Kecamatan Majauleng.

Sedangkang sentra industri penenunan sutera terdapat di Kecamatan Tanasitolo dan daerah pengembangannya tersebar di Kecamatan Tempe, Kecamatan Majauleng, dan Kecamatan Pammana.

Kegiatan pengembangan persuteraan baik Industri Hulu yang meliputi persuteraan alam dengan penanaman Tanaman Murbey, Pemeliharaan Ulat Sutera (Bombyx mori, sp), dan produksi kokon serta Industri Hilir yang meliputi pemintalan benang sutera, pertenunan kain sutera, hingga pengembangan deversifikasi produk asal sutera dapat di jumpai di Kabupaten Wajo.

Latar belakang orang Wajo yang dikenal memiliki jiwa enterpreneurship yang tinggi berdampak pada tingginya motivasi mereka untuk mengembangkan komoditas sutera dengan berkreasi dan selalu mencara inovasi baru serta menciptakan berbagai macam produk asal sutera bahkan menjalin hubungan kerjasama dengan pengusaha-pengusaha Pertekstilan dari Pulau Jawa termasuk designer-designer ternama Indonesia.

Pengembangan Tanaman Murbey

Tanaman Murbey (Morus, sp) adalah tanaman yang merupakan tanaman utaman dalam pemeliharaan ulat sutera sehingga keberadaan mutlak dibutuhkan dalam kegiatan persuteraan alam pemeliharaan ulat sutera. Penanaman Murbey yang sentra pengembangannya ditemui di Kecamatan Sabbangparu, Kecamatan Gilireng dan Kecamatan Takkalalla hingga saat menempati luas lahan sekitar 240 hektar menggunakan sistem penanaman berupa pertanaman murni, pertanaman tumpang sari, dan tanaman pekarangan.

Jika diasumsikan produksi 140 ton daun murbey per hektar maka lahan Tanaman Murbey di Kabupaten Wajo potensi produksinya bisa mencapai 33.600 ton daun Murbey dan dapat memenuhi pemeliharaan 48.000 box telur ulat sutera. Adapun Jenis Species Tanaman Murbey yang dikembangkan meliputi Morus nigra, Morus cathayana, Morus alba, Morus multicaulis, Kanva dan S 54.

Tanaman Murbey di Kabupaten Wajo untuk jangka waktu yang akan datang dibutuhkan pemikiran untuk dikembangkan bukan hanya terbatas sebagai bahan manakan ulat sutera tetapi jauh lagi dilakukan deversifikasi penggunaannya sebagai Tanaman Biofarmaka atau campuran bahan kosmetik, karena berdasarkan penelitian yang ada (Mien Kaomini) menyatakan bahwa Murbey mengandung banyak bioaktif, daun mudanya dapat dibuat sayur sehat yang berkhasiat menurunkan tekanan darah tinggi, memperbanyak ASI, mempertajam penglihatan, dan baik untuk pencernaan. Sedangkan buahnya bermanfaat untuk memperkuat ginjal, meningkatkan sirkulasi darah, mengatasi sembelit, dan orang Tiongkok percaya bahwa buah Murbey dapat mempertajam pendengaran. Disamping itu kulit pohon Murbey dapat diracik sebagai obat astma, muka bengkak, dan batuk serta akar pohon Murbey dapat direbus sebagai penawar demam.

Produksi Kokon

Kokon adalah produk hasil pemeliharaan ulat sutera. Keberhasilan pemeliharaan ulat sutera dapat dilihat dari jumlah dan kualitas kokon yang dihasilkan. Hingga saat ini produksi kokon yang mampu dihasilkan oleh pemeliharan ulat sutera di Kabupaten Wajo berkisar dari 18-40 kg per box, atau sekitar 416.771 kg kokon pertahun. Namun tantangan yang masih terjadi adalah mutu produk hasil kokok yang ada masih tergolong rendah yang berdampak pada rendahnya harga jualnya sehingga berpengaruh terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani pemelihara ulat sutera. Walaupun demikian hampir semua produk hasil tersebut masih terserap oleh pasar disebabkan karena tingginya permintaan pasar. Oleh karena itu input teknologi yang lebih maju dan pengembangan kapasitas petani dan kelembagaannya perlu mendapat perhatian demi meningkatkan produksi dan kualitas kokon yang dihasilkan dimasa yang akan datang.

Industri Pemintalan Sutera

Industri pemintalan sutera di Kabupaten Wajo berkembang dalam beberapa tingkatan bila dilihat dari operasionalnya yaitu menggunakan alat reeling dengan sistem manual, semi mekanis, dan semi otomatis. Setidaknya terdapat 91 orang pengrajin yang menggeluti usaha ini dengan mempekerjakan sekitar 822 orang tenaga kerja. Dengan menggunakan alat mesin pemintal sebanyak 274 unit mereka mampu menghasilkan benang sutera mentah belum siap tenun sebanyak 6.389 kg pertahun, dan selanjutnya benang sutera tersebut harus melalui proses penggintiran (twisting) lagi untuk mendapatkan benang sutera twist tenun.

Kondisi inilah yang memberikan pilihan kepada pengusaha pengrajin pertenunan sutera untuk menggunakan benang sutera dari daerah lain seperti dari Kabupaten Enrekang, Kabupaten Minahasa, bahkan menggunakan benang sutera import yang sudah ada walaupun dengan harga yang lebih mahal demi memenuhi tuntutan kualitas permintaan pangsa pasar yang ada.

Memperhatikan kondisi industri pemintalan sutera ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo merespon dengan mendatangkan peralatan laboratorium 1 unit pada tahun 2005 dan alat mesin pemintalan otomatis sebanyak 6 unit pada tahun 2008 dimana pada saat ini telah dimanfaatkan denga baik oleh pengusaha pengrajin sutera sehingga mampu memperbaiki dan meningkatkan mutu benang sutera yang dihasilkan.

Peralatan lain yang diadakan pemerintah adalah alat mesin finishing sutera 1 unit, namun belum dipergunakan secara optimal yang disebabkan karena pengoperasionalan mesin ini membutuhkan keahlian khusus dan biaya yang tidak sedikit sehingga dalam jangka waktu yang akan datang dibutuhkan pelatihan personal dan tambahan modal operasional bagi pengusaha pengrajin sutera yang memiliki minat dan komitmen yang kuat untuk pengembangan sutera di Kabupaten Wajo.

Industri Pertenunan Sutera

Industri pertenunan sutera merupakan kegiatan yg paling banyak di geluti oleh pelaku persuteraan di Kabupaten Wajo, Hal ini di latar belakangi oleh prodik kain setera yang di hasilkan mempunyai nilai kegunaan yang di padukan dengan nilai estetika budaya setempat. Perpaduan nilai tersebut menghasilkan kerakteristik yang tersendiri yang mencirikan produk kain sutera khususnya sarung khas Sengkang ( lipa “ sabbe to sengkang = sarung sutera Sengkang). Dalam perkembangannya pengrajin pertenunan Sutera bukan saja menghasilkan kain sarung tetapi sudah mampu memproduksi produk kain lain seperti kain motif teksture dalam bentuk kain puth dan warna, maupun kain yang di tenun dengan memadukan benang Sutera dengan bahan serat lainnya sehingga memberikan banyak pilihan bagi para peminat produk sutera.

Dalam proses produksinya pengrajin lebih banyak menggunakan alat pertenunan tradisional alat tenun bukan mesin (ATBM) dan pengembangannya, Namun melalui teknik inovasi dan kerja keras yang di miliki pengrajin mampu menghasilkan Produk yang berkualitas tinggi bahkan memiliki nilai di bandingkan dengan produk mesin dan alat pertenunan moderen.

Alat Tenun Gedogan

Alat tenun gedogan adalah alat tenun tradisional sederhana yang di gerakkan oleh tangan. Alat ini tersebnar di pelosok di pedesaan di Kabupaten Wajo dan biasanya di gunakan secara turun menurun oleh para ibu-ibu rumah tangga dan para gadis desa. Hasil dari alat tenun gedogan lebih banyak dalam bentuk kerajinan tenun sutera (lipa' sabbe)yang di kenal dengan kerajinan tenun Sutera rumah tangga.

Bertahannya alat ini hingga sekarang di Bumi Lamakdukelleng Kabupaten Wajo, karena orang Wajo meneladani kepiawaian mereka mempertahankan tradisi secara dinamis yakni membuka diri ke arah perubahan tetap menjaga ciri khas Bugis Wajo, mereka bersedia mengadopsi inovasi teknis yang di anggap berguna, dengan di landasi ketekunan dan pantang menyerah dengan perhatikan perkembangan pasar dan permintaan konsumen . Beberapa corak motif dan khas Wajo dan sarung sutera yang di hasilkan seperti : Bali are, Balo Renni , Balo kette, cora subbi lobang, mappagiling, dan pucuk si kadang.

Alat Tenun Bukan Mesin (Atbm)

Alat tenun bukan mesin (ATBM) adalah semua bentuk perlatan yang dapat membuat kain tenun di gerakkan oleh tenaga mesin melainkan di gerakkan secara manual dengan tenaga manusia. ATBM di sebut juga alat tenun model TIB berasal dari kata “ testile inrichting Bandung “, karena lembaga inilah yang mula-mula menciptakan alat tenun ini di Indonesia sejak tahun 1912 .

ATBM pertama kali masuk dan di pergunakan di Kabupaten Wajo pada tahun 1950an dimana pada awalnya hanya memproduksi kain sarung samarinda. Seajak tahun 1980an mulai memproduksi sarung sutera dengan motif balo tettong hingga dalam perkembangan selanjutnya ATBM bukan saja memproduksi kain sutera tetapi lebih di kembangkan dengan memproduksi kain motif testure polos, selendang, perlengkapan bahan pakian, asesoris rumah tangga,hotel,kantor dan sebagainya berdasarkan permintaan pasar dan konsumen.

ATBM yang di lengkapi dengan 3 jenis alat berdasarkan penggerak gun yang di gunakan dapat di memproduksi berbagai motif kain, yaitu :

*ATBM Roll/Kerek (roda gila)yang di lengkapi dua pedal dan satu Roll dapat menghasilkan kain dengan motif anyaman polos / plat dan turunannya.

*ATBM dobbi, menghasilkan kain dengan motif anyaman plat, keper, satin dan turunannya serta kain berlapis.

*ATBM jakart/Jacquard, menghasilkan kain dengan motif anyaman plat, keper, satin dan turunan serta jenis kain berlapis dengan variasi yang lebih komplit di bandingkan ATBM dobbi.

Peluang Dan Tantangan Persuteraan Di Kabupaten Wajo

Sepanjang perjalanan persuteraan di kabuaten Wajo sdah mengalami tantangan dan masa-masa sulit sebagaimana sektor usaha yang lainnya namun karena prinsip yang selalu di pertahankan Oleh para pelaku persuteraan yang di barengin dengan keuletan dan loyaritas memperthankan profesinya dengan melakukan berbagai upaya pengembangan dan inovasi yang berguna menyebabkan mereka mampu eksis hingga saat sekarang ini . Namun demikian bukanlah permasalhan dalam menjalankan usahanya.

Berbagai permasalahan yang masih di jumpai yaitu diantaranya masih belum berjalannya dengan baik organisasi yang menghimpun pengusaha persuteraan ; Belum tertatanya dngan baik pemasaran produk sutera utamanya dalam pemasaran luar daerah dan pulau Jawa sehingga sering menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat; Belum adanya upaya maksimmal dalam perlindungan hak cipta utamanya kreasi motif dan design yang mengakibat kan kerugian bagi pengrajin yang berorientasi terhadap bidanmg tersebut;

Sulitnya mendapatkan bahan baku benang sutera yang berkualitas tinggi utamanya benang produksi lokal sehingga membutuhkan upaya dari pihak yang berkompeten untuk terus berupaya mengatasi hal tersebut; Belum adanya klasifikasi harga terhadap produk sehingga dapat menimbulkan persepsi yang keliru terhadap produk sutera yang di hasilkan ; Bebarapa pengusaha belum bisa mengembangkan usahanya lebih luas karena kekurangan dana di sebabkan karena tingkat keyakinan perbankandan lembaga pembiyaan lainnya unuk mendanai kegiatan persuteraan masih rendah; Masi ada beberapa pengusaha atu penrajin yang belum konsistensi mempertahankan kualitas produk yang di hasilkan dan hal-hal lain yang biasa di jumpai oleh pengusaha atau pengrajin di bidang lainya.

Melihat tantangan permasalahan tersebut maka di perlukan upaya dari segenap stakeholder persuteraan yang ada baik pengrajin atui pengusaha persuteraan maupun instansi pemerintah dan lembaga pemberdayan lainnya untuk berkomitmen dalam mencari solusi pemecahan permasalahan tersebut di atas dengan mengeutamakan kepentingan persuteraan dan nama baik Kabupaten sebagia daerah penghasil produk sutera yang berkualitas. Di sampng itu dengan penggambaran persuteraan di Kabupaten Wajo dalam buku kecil ini di harapkan akn menjadi salah satu refensi bagi para peminat atau investor yang akan melakukan kerja sama atau menjalin kemitraan de ngan para pelaku kegiatan persuteraan di Kabupaten Wajo. Akhirnya dengan niat dan komitmen dan kebersamaan untuk kepentingan kemajuan persuteraan di Kabupaten Wajo di harapkan dapat meberikan kemashalahatan dan kontribusi peningkatan dan kesejahteraan hidup masyarakat.

Ekonomi Sulsel Bisa Tumbuh Lebih 8 Persen

PEREKONOMIAN Sulsel diperkirakan tumbuh lebih baik pada triwulan II 2011 dibanding periode Januari-Maret yang mencapai 8,03 persen. Sementara akhir tahun diyakini bisa mencapai 8,5-8,75 persen.

Humas Bank Indonesia Makassar, Gusti Raizal Eka Putra, Minggu, mengaku pihaknya sementara menyusun datanya dan mereka baru bisa mengeluarkannya setelah BPS. Sementara itu, seperti biasanya BPS merilis data-datanya setiap awal bulan.

Namun, data-data kinerja perbankan Sulsel sejak Januari 2011 pernah dipaparkan Pemimpin Bank Indonesia Makassar, Lambok Antonius Siahaan pada saat peresmian Bank Jabar Banten (BJB) di Makassar, 31 Maret lalu.

Menurut Lambok, sejak Januari 2011 hingga Maret, pertumbuhan perbankan cukup signifikan, baik dari segi penyaluran kredit, pencapaian Dana Pihak Ketiga (DPK), maupun dari sisi aset.

Lambok mengungkapkan, Sulsel dengan 37 perbankan dengan jumlah kantor cabang sebanyak 105 kantor, diharapkan dapat meningkatkan perekonomian Sulsel tahun ini. Aset perbankan di Sulsel sebut Lambok mencapai Rp51,2 triliun atau tumbuh sebesar 28,05 persen. Penyaluran kredit juga mengalami pertumbuhan sebesar 13,94 persen.

Peningkatan pertumbuhan kinerja perbankan juga ditopang dari pertumbuhan DPK 20,91 persen, atau mencapai Rp36,8 triliun. Pertumbuhan Loan to Deposit Ratio (LDR) juga cukup besar, di atas 100 persen.

Pertumbuhan LDR tersebut diakibatkan besarnya dana dari luar Sulsel yang digunakan untuk pemberian kredit, dan belum terdapatnya keseimbangan antara tingkat simpanan masyarakat yang masuk ke lembaga, dengan daya serap pembiayaan.

Korwil Sulawesi Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Ridwan Djabir Patiwiri melihat, berkaca dari pertumbuhan perbankan, juga dari sisi produksi, Ridwan yang akrab disapa Dino ini mengaku lebih optimis dengan triwulan kedua.

Menurutnya, jika pada triwulan pertama, hasil produksi beras kurang memuaskan, akibat faktor cuaca, triwulan kedua hasil beras diprediksi akan lebih melimpah, karena masih banyak daerah yang akan panen. "Pokoknya semua yang berkaitan dengan agrobisnis, biasanya tumbuh pada triwulan kedua. Baik itu, beras, kakao, bahkan hasil laut juga bertopang pada faktor cuaca, sehingga kita lebih optimis pada triwulan kedua ini," ujarnya.

Sektor-sektor lain seperti properti, lanjut Dino, biasanya ikut dengan efek domino dari pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Di sisi lain, pemenang pilkada di sepuluh daerah yang baru saja dilantik, sudah bisa memperlihatkan hasil kerja pada triwulan kedua ini.

Proyek-proyek APBN juga sudah mulai dikerja, sehingga efeknya tentunya akan mengatrol tenaga kerja lokal. Banyaknya yang bekerja tentunya akan meningkatkan daya beli, sehingga ekonomi akan kembali tumbuh. Sementara itu, pengamat ekonomi Sulsel, Syarkawi Rauf mengatakan, pertumbuhan ekonomi Sulsel secara kuartalan belum optimal. Ibarat mobil atau motor, perekonomian Sulsel, kata dia, belum bisa pindah ke "gigi" atau gear yang lebih tinggi.

Perekonomian Sulsel belum berakselerasi yaitu mencapai level pertumbuhan sama seperti periode sebelum krisis perekonomian global tahun 2008 dan 2009. Penilaian Syarkawi ini didasarkan pada sejumlah indikator, termasuk ekspor komoditas utama Sulsel ke sejumlah negara.

Hal tersebut, kata dia, dapat diamati dari sisi pencapaian pertumbuhan ekonomi Sulsel hingga kuartal pertama 2011 secara year on year, yang hanya sekitar 8,30 persen (angka proyeksi). Angka ini, sebut Syarkawi, lebih rendah dibandingkan dengan pencapaian pertumbuhan pada kuartal keempat 2010 yang mencapai sekitar 8,93 persen, sebagaimana data BPS dan BI, 2010.

Namun, lanjut dia, pertumbuhan ekonomi Sulsel masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah di KTI yang hanya besar 5,5 – 6,5 persen. Pertumbuhan ekonomi Sulsel juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal pertama tahun 2011 yang diperkirakan sekitar 6,4 persen.

Perkembangan perekonomian Sulsel secara kuartalan, lanjut Syarkawi, dapat diamati dari dua sisi, expenditure dan output. Pada sisi expenditure, terdapat dua faktor yang memberi sumbangan relatif besar terhadap pertumbuhan ekonomi Sulsel, yaitu konsumsi rumah tangga dan ekspor-impor.

Dari sisi konsumsi rumah tangga yang relatif tinggi didorong oleh musim panen, khususnya hasil-hasil perkebunan dan juga pertanian, dan kelonggaran perbankan dari sisi pemberian kredit untuk konsumsi. Sementara ekspor dipicu oleh meningkatnya permintaan terhadap komoditi pertambangan khususnya nikel serta komoditas pertanian dan perikanan seperti kakao, rumput laut, dan produk perikanan lainnya.

Khusus untuk belanja pemerintah, kontribusinya relatif kecil karena penyerapan anggaran yang juga masih rendah, baik untuk pemerintah provinsi Sulsel sendiri maupun kabupaten/kota. Bahkan ada beberapa dinas baik di level provinsi maupun kabupaten/kota yang penyerapan anggarannya masih sekitar lima persen.

Hal itu, sambung Syarkawi, tercermin pada dua hal pokok, yaitu pertumbuhan kredit modal kerja dan investasi dari posisi Januari ke Februari 2011 (m to m) yang masing-masing hanya meningkat sekitar Rp1,5 triliun dan Rp162 miliar. Peningkatan terbesar justru terjadi untuk kredit konsumsi, yaitu pada periode yang sama meningkat sekitar Rp2,5 triliun.

Namun demikian kata Syarkawi, sektor perbankan di Sulsel patut diberikan apresiasi dengan kemampuannya mendorong semakin besarnya alokasi kredit untuk usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Selama Januari hingga Februari 2011, ekspor non migas Sulsel mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, yaitu meningkat sekitar USD50 juta dari sekitar USD60,236 juta pada Januari 2011 menjadi sekitar USD112,855 juta (BI, 2011).

Kondisi ini bisa dimengerti mengingat beberapa negara maju yang merupakan tujuan ekspor utama Sulsel, masih berusaha untuk keluar dari krisis. Lambatnya perkembangan ekonomi negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang yang baru dilanda tsunami, mempengaruhi kinerja ekspor Sulsel.

Secara sektoral, dari sembilan lapangan usaha, terdapat tiga lapangan usaha yang mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu pengangkutan dan komunikasi, perdagangan, hotel, dan restoran, dan bangunan. Sementara lapangan usaha listrik, gas, dan air bersih; pertambangan dan penggalian; dan perdagangan, hotel, dan restoran mengalami pelambatan dibandingkan kuartal keempat 2010 (y.o.y). Lapangan usaha lainnya, seperti pertanian dan jasa-jasa pemerintaan tidak banyak mengalami perubahan.

Selain itu, lanjut Syarkawi, perekonomian Sulsel juga menerima eksternalitas positif dari perekonomian Sulbar terkait dengan pelaksanaan sejumlah proyek pembangunan senilai triliunan rupiah. "Perlu diketahui bahwa income-nya di Sulbar tetap mayoritas spendingnya dilakukan di Makassar," sebutnya

(Fajar,
Senin, 02 Mei 2011)

Blogger templates made by AllBlogTools.com